Kami baru saja kelar mengikuti kajian pekanan rohis sekolah
menengah atas. Sembari rehat, kami berkumpul santai sambil berdiskusi. Semuanya
laki-laki. Dalam diskusi tanpa tema khusus itu, kami membicarakan banyak hal.
Seputar pelajaran, guru, kebiasaan, organisasi, ekstra kurikuler, dan lain
sebagainya.
Entah
dari mana mulanya, sahabat kami yang kala itu menjabat sebaga wakil ketua
Pramuka berkata, “Ayo, menurut kalian, apa satu kriteria wanita hingga layak
disebut shalihah dan layak dijadikan sebagai istri idaman ?”
Beberapa
teman pun langsung menyambar, menyampaikan jawaban. Tidak pernah meninggalkan
shalat, rajin puasa, rajin menabung, pandai membaca al-Qur’an, lembut, cantik,
baik, keturunan shalih, rambut panjang, kulit putih, tinggi semampai, muka
oval, mata damar kanginan, dan lain sebagainya.
Mengejutkan,
sahabat kami yang melempar pertanyaan tersebut menggeleng. Menolak semua
jawaban yang dilontar oleh peserta diskusi. “Apa dong ?” tukas teman-teman.
Dengan
santai, laki-laki yang piawai dalam pelajaran seni rupa ini menyampaikan
jawaban, “Satu-satunya kriteria wanita shalihah yang paling utama, yaitu mau
dipoligami.” Tawa kami langsung pecah. Terbahak-bahak. Sekaligus
bertanya-tanya.
Poligami
menjadi satu di antara sekian banyaknya masalah sentral dalam pernikahan. Meski
jelas hukumnya, lantaran banyak yang salah praktik, poligami pun dicaci dan
disalahkan tanpa ampun. Poligami tak pernah benar. Laki-laki yang berpoligami
tiada yang benar. Hanya nafsu. Hanya mengikuti kemauan syahwatnya.
Dalam
lanjutan diskusi kami siang menjelang sore itu, satu di antara kami pun ada
yang bergegas memberikan alasan. “Sebab, wanita yang mau dipoligami itu mau
mengikuti perintah Allah Ta’ala dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Poligami
memang diperintahkan. Hukumnya diperselisihkan. Ada yang menghukumi sunnah, ada
juga yang hanya membolehkan. Akan tetapi, ‘mau dipoligami’ sejatinya merupakan
kriteria amat penting. Pasalnya, begitu banyak wanita yang menolak bahkan anti
poligami hanya karena nafsunya, hanya karena sifat kewanitaannya, hanya karena
tidak mampu membayangkan saat suaminya mendapat giliran bersama istrinya yang
lain.
Padahal,
hanya ‘mau’. Di sana tidak ada kata ‘mampu’. Bukankah hampir semua laki-laki
normal juga mau tapi tidak mampu berpoligami? Bukankah pula banyak wanita yang
mau tapi tidak mampu dipoligami?
Akan
tetapi, mau menjadi jalan utama bagi sebuah kata yang menuntut bukti; mampu.
Wallahu
a’lam.
0 Response to "POLIGAMI....., Nikahilah Wanita Yang Mau di Poligami...!!!"
Posting Komentar